Lo Siaw Ging: Dokter Tanpa Tarif
Nama lengkapnya Lo Siaw Ging, namun ia lebih dikenal dengan panggilan dokter Lo. Di Solo, Jawa Tengah, dokter keturunan Tionghoa berusia 78 tahun ini populer bukan hanya karena diagnosa dan obat yang diberikannya selalu tepat, tapi juga karena ia tidak pernah meminta bayaran dari pasiennya.
Setiap hari, kecuali Minggu, puluhan pasien antre di ruang tunggu prakteknya. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai tukang becak, pedagang kaki lima, buruh pabrik, karyawan swasta, pegawai negeri,hingga pengusaha. Pasiennya tidak hanya datang dari Solo, tetapi juga kota-kota di sekitarnya, seperti Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Boyolali, Klaten, dan Wonogiri.
Dokter Lo menjadi istimewa karena tidak pernah memasang tarif. Ia juga tak pernah membedakan pasien kaya dan miskin. Ia justru marah jika ada pasien yang menanyakan ongkos periksa padahal ia tidak punya uang. Bahkan, selain membebaskan biaya periksa, tak jarang Lo juga membantu pasien yang tidak mampu menebus resep. Ia akan menuliskan resep dan meminta pasien mengambil obat ke apotek tanpa harus membayar. Pada setiap akhir bulan, pihak apotek yang akan menagih harga obat kepada sang dokter.
Perlakuan ini bukan hanya untuk pasien yang periksa di tempat prakteknya, tapi juga untuk pasien-pasien rawat inap di rumah sakit tempatnya bekerka, RS Kasih Ibu. Alhasil, Lo harus membayar tagihan resep antara Rp 8 juta hingga Rp 10 juta setiap bulan. Jika biaya perawatan pasien cukup besar, misalnya, harus menjalani operasi, Lo tidak menyerah. Ia akan turun sendiri untuk mencari donatur. Bukan sembarang donatur, sebab hanya donatur yang bersedia tidak disebutkan namanya yang akan didatangi Lo.
“Beruntung masih banyak yang percaya dengan saya,” kata dia.
Di mata pasien tidak mampu, Lo memang bagaikan malaikat penolong. Ia menjungkirbalikan logika tentang biaya kesehatan yang selama ini sering tak terjangkau oleh pasien miskin. Apa yang dilakukan Lo juga seperti membantah idiom “orang miskin dilarang sakit”.
“Saya tahu pasien mana yang mampu membayar dan tidak. Untuk apa mereka membayar ongkos dokter dan obat kalau setelah itu tidak bisa membeli beras? Kasihan kalau anak-anaknya tidak bisa makan,” kata dia.
Gaya bicaranya tegas cenderung galak. Tidak jarang ia memarahi pasien yang menganggap enteng penyakit. Ia bercerita pernah benar-benar sangat marah kepada seorang ibu karena baru membawa anaknya ke ruang prakteknya setelah mengalami panas tinggi selama empat hari.
“Sampai sekarang masih banyak orang yang bersikap seperti itu. Memangnya penyakit itu bisa sembuh dengan sendirinya. Kalau sakit ya harus segera dibawa ke dokter. Jangan melakukan diagnosa sendiri,” ujar anak ke 3 dari 5 bersaudara itu.
Toh meski galak, Lo tetap dicintai. Ia menjadi rujukan berobat terutama bagi mereka yang tidak mampu. Namun dokter lulusan Universitas Airlangga Surabaya ini merasa apa yang ia lakukan bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan.
“Tugas dokter itu menolong pasiennya agar sehat kembali. Apa pun caranya. Saya hanya membantu mereka yang membutuhkan pertolongan dokter. Tidak ada yang istimewa,” ujar dokter yang buka praktek di rumahnya, Kampung Jagalan, Jebres, Solo.
Dokter Sederhana
Lahir di Magelang, 16 Agustus 1934, Lo tumbuh dalam sebuah keluarga pengusaha tembakau yang moderat. Orang tuanya, Lo Ban Tjiang dan Liem Hwat Nio, memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk memilih apa yang dinginkan. Salah satunya adalah ketika Lo ingin melanjutkan SMA ke Semarang, karena dia menganggap tidak ada SMA yang kualitasnya bagus di Magelang ketika itu.
Setamat SMA, Lo menyatakan keinginannya untuk kuliah di kedokteran. Ketika itu, ayahnya hanya berpesan jika ingin menjadi dokter jangan berdagang. Sebaliknya jika ingin berdagang, jangan menjadi dokter. Rupanya, nasehat itu sangat membekas di hati Lo. Maksud nasehat itu, menurut Lo, seorang dokter tidak boleh mengejar materi semata karena tugas dokter adalah membantu orang yang membutuhkan pertolongan. Kalau hanya ingin mengejar keuntungan, lebih baik menjadi pedagang..
”Jadi siapa pun pasien yang datang ke sini, miskin atau kaya, saya harus melayani dengan baik. Membantu membantu orang itu tidak boleh membeda-bedakan. Semuanya harus dilakukan dengan ikhlas. Profesi dokter itu menolong orang sakit, bukan menjual obat,” ujar suami dari Gan May Kwee ini.
Menjadi dokter sejak 1963, Lo mengawali karir dokternya di poliklinik Tsi Sheng Yuan milik Dr Oen Boen Ing (1903-1982), seorang dokter legendaris di Solo. Pada masa orde baru, poliklinik ini berkembang menjadi RS Panti Kosala, dan kini berganti nama menjadi RS Dr Oen.
Selain dari ayahnya, Lo mengaku banyak belajar dari Dr Oen. Selama 15 tahun bekerja pada seniornya itu, Lo mengerti benar bagaimana seharusnya menjadi seorang dokter.
”Dia tidak hanya pintar mengobati, tetapi juga sederhana dan jiwa sosialnya luar biasa,” kata mantan Direktur Rumah Sakit Kasih Ibu, Solo.
Apa yang dikatakan Lo tentang membantu siapa pun yang membutuhkan itu bukanlah omong kosong. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998 lalu misalnya, Lo tetap buka praktek. Padahal para tetangganya meminta agar dia tutup karena situasi berbahaya, terutama bagi warga keturunan Tionghoa. Namun, Lo tetap menerima pasien yang datang. Para tetangga yang khawatir akhirnya beramai-ramai menjaga rumah Lo.
“Banyak yang butuh pertolongan, termasuk korban kerusuhan, masak saya tolak. Kalau semua dokter tutup siapa yang akan menolong mereka?” kata Lo yang juga lulusan Managemen Administrasi Rumah Sakit (MARS) dari Universitas Indonesia.
Hingga kerusuhan berakhir dan situasi kembali aman, rumah Lo tidak pernah tersentuh oleh para perusuh. Padahal rumah-rumah di sekitarnya banyak yang dijarah dan dibakar.
Kini, meski usianya sudah hampir 80 tahun, Lo tidak mengurangi waktunya untuk tetap melayani pasien. Setiap hari, mulai pukul 06..00 sampai 08.00, dia praktek di rumahnya. Selanjutnya, pukul 09.00 hingga pukul 14.00, Lo menemui para pasiennya di RS Kasih Ibu. Setelah istirahat dua jam, ia kembali buka praktek di rumahnya sampai pukul 20.00.
“Selama saya masih kuat, saya belum akan pensiun. Menjadi dokter itu baru pensiun kalau sudah tidak bisa apa-apa. Kepuasan bagi saya bisa membantu sesama, dan itu tidak bisa dibayar dengan uang,” ujar dokter yang sejak beberapa tahun lalu berjalan dengan bantuan tongkat ini.
Menurut Lo, itrinya memiliki peran besar terhadap apa yang ia lakukan. Tanpa perempuan itu, kata Lo, ia tidak akan bisa melakukan semuanya.
“Dia perempuan luar biasa. Saya beruntung menjadi suaminya,” ujar Lo tentang perempuan yang ia nikahi tahun 1968 itu.
Puluhan tahun menjadi dokter, dan bahkan pernah menjadi direktur sebuah rumah sakit besar, kehidupan Lo tetap sederhana. Bersama istrinya, ia tinggal di rumah tua yang relatif tidak berubah sejak awal dibangun, kecuali hanya diperbarui catnya. Bukan rumah yang megah dan bertingkat seperti umumnya rumah dokter.
“Rumah ini sudah cukup besar untuk kami berdua. Kalau ada penghasilan lebih, biarlah itu untuk mereka yang membutuhkan. Kebutuhan kami hanya makan. Bisa sehat sampai usia seperti sekarang ini saja, saya sudah sangat bersyukur. Semakin panjang usia, semakin banyak kesempatan kita untuk membantu orang lain,” kata Lo yang selama 43 tahun perikahannya dengan Gan May Kwee tidak dikaruniai anak.
Di tengah biaya obat-obatan yang mahal, pelayanan rumah sakit yang sering menjengkelkan, dan dokter yang lebih sering mengutamakan materi, keberadaan Lo memang seperti embun yang menyejukkan. Rasanya, sekarang ini tidak banyak dokter seperti Dr Lo.
Low Siaw Ging, Dokter atau Malaikat?
Ditengah kondisi yang sangat memprihatinkan di dunia medis, ongkos kesehatan yang begitu mahal, pelayanan yang amburadul di kebanyakan rumah sakit atau dokter yang tidak lagi peduli pada kaum papa, ternyata Tuhan masih menyisakan seorang Lo Siaw Ging. Dokter yang sudah tergolong sepuh ini masih melayani pasien dari pagi, siang hingga sore di rumah yang sekaligus tempat prakteknya, Jagalan, Solo.
Dimata tetangga dan pasien tidak mampu, dokter Lo bagaikan malaikat. Dokter Lo juga menjungkir balikan logika tentang pelayanan dan biaya kesehatan pada umumnya. Bagaimana mungkin ditengah jaman krisis mutu pelayanan dunia kedokteran, seorang dokter Lo, begitu beliau biasa dipanggil tak sudi memasang tarif, bahkan menggratiskan begitu saja biaya periksa. Tidak itu saja dokter Lo bahkan tak pelit memberikan ongkos bagi yang tak mampu. Bahkan lebih ”gila” lagi beliau membayar tagihan obat bagi pasien yang tak mampu menebus resep yang ditulisnya di Apotik langganannya.
Secara pribadi saya mengenal dokter Lo ketika bekerja di perusahaan farmasi hampir dua dekade lalu. Ketemu lagi dengan beliau ketika saya sudah beralih profesi bekerja sebagai petugas pajak dan ditugaskan di bagian Fiskal Luar Negeri Bandara Adi Sumarmo Solo. Pengalaman unik dengan beliau yakni pada saat ada seseorang yang sengaja tidak genap membayar biaya fiskal luar negeri yang waktu itu Rp. 1 Juta, hanya menyerahkan Rp. 900 ribu, tapi mengaku sudah benar. Belum lagi saya menegurnya, dokter Lo sudah menegur orang tersebut agar jujur. Ya, dokter Lo memang antri pas dibelakang orang tersebut hingga tau gerak-geriknya.
Hari Sabtu tanggal 2 April 2011 saya kembali lagi bertemu dengan dokter Lo, setelah lebih kurang 7 tahun tidak bertemu. Kali ini saya harus ketemu dokter Lo, karena kedua anak saya dan istri saya sudah beberapa kali ke dokter tak kunjung sembuh juga batuknya. Saya tahu persis dokter Lo sangat piawai menyembuhkan berbagai keluhan sakit, termasuk batuk. Agak segan sebenarnya, karena masih banyak yang lebih memerlukan jasa dokter Lo katimbang kami. Biasanya kami pergi ke klinik praktik 24 jam yang juga tidak terlalu mahal biayanya. Dan mutu layanannya juga cukup baik.
Di sepanjang perjalanan yang ditempuh kira-kira dua puluh menit dari rumah, saya sudah berembuk dengan istri saya bagaimana cara nanti membayarnya. Bukan memikirkan berapa tarifnya, tapi menyiapkan mental kalau-kalau nanti dimarahi dokter ketika membayar.
Ketika sampai diruang prakteknya , sebuah rumah tua yang sederhana bentuknya namun kokoh dan sangat bersih, konsentrasi saya bukan lagi pada anak-anak yang sakit. Tapi sosok beliau yang sangat galak dan tegas. Kami mengantri sekira 6 pasien. Tidak terlalu lama menunggu, karena dokter Lo memang cepat memeriksa dan tak suka basa-basi.
Tibalah giliran keluarga kami, 4 orang masuk sekaligus. Sosok dokter “Malaikat” itu masih seperti terakhir saya bertemu. Raut mukanya bersih, sisiranya rapi seperti selalu habis mandi, hem putih dan to the point. Ketika beliau bertanya berapa berat badan anak saya, maka saya jawab kira-kira 29 kg. Lalu dokter berkata sangat tegas “jangan kira-kira, itu ada timbangan!!” Maka cepat-cepat saya menimbang anak saya yang ternyata 27 kg. Ketika ketiganya selesai diperiksa dan istri saya agak ketakukan mau menyerahkan biaya yang diamplop, dokter Lo sudah buru-buru mengusir kami, “sudah…….sudah…….selesai…….” dengan sedikit sekali senyum. Kami tahu maksudnya beliau tak mau dibayar.
Serba salah memang, disisi lain kami cocok dengan resepnya disisi lain beliau tak berkenan dibayar. Sebenarnya harapan kami uang yang kami bayarkan bisa untuk membantu saudara-saudara kami yang tidak mampu. Tapi….sudahlah, mungkin sebaiknya sodaqoh di tempat lain saja. Bukan di dokter “Malaikat” ini. Saya hampir meneteskan air mata dan berdo’a mudah-mudahan beliau sehat dan berumur panjang, serta ada penerusnya yang seperti beliau. Karena masih begitu banyak saudara-saudara kita yang tidak mampu memerlukan sosok seperti beliau.
Kami juga mendapatkan pelajaran bahwa tidak perlu bermanis mulut untuk ikhlas menolong orang. Lo Siaw Ging adalah sosok yang menakjubkan. Kehidupan pribadinya yang sangat sederhana, dengan sikapnya yang tegas dan galak dia mempunyai hati yang begitu bening………sebening embun pagi dan seikhlas senyuman pasien yang ditolongnya………
Artikel ini dari : Sumber